IM.com – Penguatan kawasan Trowulan sebagai destinasi wisata jadi tema dan diulas empat narasumber dalam ‘Dialog Kebudayaan’ yang digelar di Pondok Pesantren Segoro Agung, Desa Sentono Rejo, Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Kamis (13/12/2018) malam.
Keempatnya, Adrian Perkasa, dosen ilmu sejarah Unair, Bambang Budi Utomo, peneliti senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Kemendikbud, Muhammad Said, Kepala BPCB Jawa Timur, dan Edi Tri Haryantoro, TimKepurbakalaan. Selain itu, duduk ditengah mereka, Kepala Disbudpar Jawa Timur,Sinarto.
Suko Widodo, Ketua Pusat Informasi dan Humas (PIH) Unair, didapuk ketua panitia Taufik Monyong, sebagai moderator dalam dialog yang dihadiri sejumlah pejabat teras Pemprov Jatim dan Forkompimda Kabupaten Mojokerto serta ratusan undangan dari berbagai komunitas di Jawa Timur tersebut.
Sejumlah gagasan dan strategi pengembangan dan penguatan pariwisata di kawasan Trowulan ditawarkan keempat narasumber dengan perspektif masing-masing.
Keterlibatan masyarakat, kerjasama stakeholder dan aksesibilitas, menurut mereka, menjadi kata kunci untuk menjadikan situs kerajaan Majapahit di Trowulan sebagai kawasan wisata yang terpadu.
Latar belakang sejarah dan arkeologi merupakan kekuatan untuk pengembangan Trowulan sebagai destinasi wisata.
“Dalam penguatan destinasi wisata Trowulan,pelestarian kebudayaan harus diutamakan. Jangan sampai pariwisata mengalahkan pelestarian budaya. Cagar budaya, kesenian dan nilai-nilai tradisi dan budaya jangan sampai bertabrakan dengan pariwisata,” kata Adrian Perkasa.
Direktur Eksekutif Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) tersebut mengatakan, Trowulan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya peringkat nasional, berpotensi untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata berbasis budaya.
Namun, koordinasi antara pegiat wisata dan pegiat budaya dalam konteks pengembangan pariwisata budaya bukan hal yang mudah. Kepentingan masing-masing acap kali lebih ditonjolkan.
“Sayangnya, koordinasi adalah hal yang mahal dinegeri ini,” ujar penulis buku Orang-orang Tionghoa dan Islam di Majapahit tersebut.
Alumnus Unair dan UGM ini memaparkan, wisata religi di kawasan Trowulan sebenarnya sudah ada sejak abad 17 dan abad 18 atau pasca runtuhnya kerajaan Majapahit abad di 16, namun bukan wisata dalam pengertian modern.
“Untuk pengembangan wisata religi Trowulan yang memiliki nuansa historis dan religius, harus dengan strategi yang tepat dengan mempertimbangkan potensi yang ada agar pariwisata sebagai industri tetap berada pada tataran pelestarian budaya ,” kata Adrian.
Yang lebih pas, ujar Adrian, pariwisata dposisikan sebagai hilir.GubernurJawa Timur Soekarwo yang diundang sebagai keynote speaker tak hadir dalam dialog yang juga menelurkan rumusan dan rekomendasi untuk pemerintah, pelaku pariwisata dan pelestari dan pegiat budaya Majapahit tersebut. (uyo)