IM.com – Utang Pemerintah RI per 31 Oktober 2019 membengkak di angka Rp 4.756,13 triliun. Ironisnya, pembengkakan itu terjadi untuk pembiayaan utang yang nilainya mencapai Rp 442,92 triliun per 30 November 2019.
Besarnya pembiayaan utang itu melampaui anggaran belanja modal tahun 2019 yang hanya Rp 119,5 triliun. Hal ini menunjukkan anggaran yang diperoleh dari utang tidak diprioritaskan untuk peningkatan belanja modal.
Secara keseluruhan utang pemerintah Rp 4.756,13 triliun naik Rp 55,85 triliun dibanding bulan September 2019 yang pada posisi dari Rp 4.700,28 triliun. Utang tersebut terdiri dari pinjaman sebesar Rp 771,54 triliun dan (SBN) sebesar Rp 3.984,59 triliun. Khusus untuk pinjaman berasal dari dalam negeri sebesar Rp 7,38 triliun dan luar negeri sebesar Rp 764,16 triliun.
Strukturnya yakni utang domestik sebesar Rp 2.883,4 triliun yang terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) Rp 2.343,6 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Rp 489,8 triliun. Ada juga Surat Berharga Negara (SBN) dari utang valas dengan total Rp 1.032,6 triliun. Utang valas ini terdiri dari SUN Rp 832 triliun dan SBSN sebesar Rp 216,4 triliun.
Angka utang itu dipastikan membengkak lagi pada tahun 2020 nanti. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berdalih, pemerintah akan terus menambah utang untuk menutup kebutuhan belanja negara yang semakin besar.
Kebutuhan belanja yang dimaksud mulai dari anggaran pendidikan, kesehatan, jaminan sosial hingga pembangunan infrastruktur. Pada 2020, pemerintah sudah merencanakan penarikan utang sebesar Rp 307,2 triliun. Angka ini sudah ada di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020.
Pembengkakan utang yang tidak sejalan dengan kebijakan anggaran belanja modal mendapat sorotan dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Bahkan anggaran untuk belanja modal terus turun sejak 2016.
Dalam Catatan Akhir Tahun yang disusun tiga Ekonom Perempuan Indef Aviliani, Eisha Maghfiruha Rachbini dan Esther Sri Astuti, di tahun 2019 saja belanja modal turun jumlahnya menjadi 11,59% sedangkan tahun sebelumnya mencapai 14,02%. Realisasi belanja modal pun disebut belum mencapai target, sampai sekarang baru 63,11%.
“Proporsi belanja modal menunjukkan tren penurunan sejak 2016. Proporsi di 2019 turun menjadi 11,59% dibanding 2018 sebesar 14,02%. Hal ini juga diikuti rendahnya realisasi belanja modal terhadap target APBN yang saat ini baru mencapai 63,11%. Realisasi belanja modal dibandingkan 2018 juga mengalami penurunan -6,79%,” papar Indef dalam Catatan Akhir Tahun 2019.
Saat ini, posisi defisit anggaran terhadap PDB sudah di atas target APBN 2019, yaitu sebesar 2,3%, padahal target APBN 1,84% terhadap PDB. Indef menilai posisi utang pemerintah yang akan terus bertambah diperparah dengan merosotnya penerimaan pajak.
“Konsekuensi penurunan penerimaan pajak di saat belanja tinggi adalah peningkatan utang Pemerintah Pusat. Hal ini juga berimplikasi pada pelebaran defisit keseimbangan primer, artinya utang pemerintah ke depan akan bertambah lagi,” ungkap Indef.
Indef menyarankan agar utang lebih banyak diarahkan untuk menstimulus pergerakan perekonomian. Sebaliknya, jangan pernah berutang demi menutup utang yang lalu.
“Utang yang dikatakan baik adalah yang digunakan untuk menstimulus ekonomi agar bergerak sehingga ada pengembalian terhadap negara berupa penerimaan pajak, namun jika utang dilakukan untuk membayar utang maka akan memperburuk neraca anggaran,” papar Indef. (im)