IM.com – Indonesia saat ini menjadi salah satu negara dengan jumlah media terbanyak di dunia. Data terbaru menunjukkan ada sekitar 60 ribu media, mayoritas berbasis online. Namun, kurang dari 1.500 media yang terverifikasi Dewan Pers. Fakta ini mengindikasikan sebagian besar media masih dikelola tanpa standar profesionalisme yang memadai, termasuk dalam hal kompetensi jurnalis dan penerapan kode etik jurnalistik.
Kondisi tersebut berdampak pada meningkatnya tren pengaduan masyarakat terhadap pemberitaan ke Dewan Pers yang dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan.

Dr. Guntur Syahputra Saragih dari Komite Publisher Right. (Foto: Rokimdakas)
Situasi ini sekaligus membuka ruang diskusi mengenai peluang sekaligus kelemahan ekosistem media di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan perkembangan mediapreneurship atau kewirausahaan media digital.
Dialog kewirausahaan media digital bertajuk Event Journalism 360 digawangi Promedia secara berantai dari Kota Medan, Palembang, Tangerang Selatan, Semarang dan Surabaya di Hotel Santika, Premiere Gubeng Surabaya, (25/09/2025).
Dalam Mediapreneur Talk yang menghadirkan narasumber Dr. Guntur Syahputre Saragih (Komite Publisher Right), Agus Sulistriyono (CEO Promedia Teknologi Indonesia), dan Ilona Juwita (CEO Props). Terungkap bahwa, mediapreneurship menawarkan jalan keluar dalam memperbaiki ekosistem media berazas gotong royong.
“Mediapreneurship bukan sekadar menjadi kreator konten, tetapi membangun bisnis media digital yang berkelanjutan. Ini menuntut kemampuan jurnalis sekaligus jiwa wirausaha,” jelas Agus Sulistriyono.
Menurutnya, konsep ini memungkinkan individu maupun kelompok kecil menggabungkan kreativitas konten dengan strategi bisnis. Tidak lagi sekadar mengejar klik, tetapi menciptakan nilai, membangun personal branding, dan membangun audiens loyal.
Tantangan dan Peluang
Data awal 2025 mencatat 212 juta pengguna internet di Indonesia, dengan tingkat penetrasi mencapai 74,6% dari populasi. Sementara pengguna media sosial telah mencapai 143 juta jiwa atau 50,2% dari populasi.
Angka tersebut memperlihatkan pasar yang sangat potensial bagi para mediapreneur, khususnya di kalangan generasi muda yang semakin akrab dengan jalur kewirausahaan digital.
Agus Sulistriyono menambahkan, Promedia Teknologi Indonesia hadir dengan model gotong royong untuk membantu media tradisional maupun homeless media bertransformasi ke ranah digital. “Kolaborasi dan digitalisasi adalah kunci agar media kecil bisa bertahan sekaligus bersaing dalam ekosistem baru,” ujarnya.
Meski terbuka peluang besar, jalan mediapreneurship tidak tanpa tantangan. Perubahan algoritma media sosial, tren konten yang cepat bergeser, serta rendahnya literasi digital di sebagian kalangan menjadi ujian nyata.
Namun potensi monetisasi yang beragam – mulai dari iklan, afiliasi, konten berbayar, hingga jasa kreatif – menunjukkan bahwa ekosistem ini semakin matang.
“Audiens kini bersedia membayar untuk konten yang relevan dan bernilai. Itu peluang yang harus ditangkap,” kata Ilona Juwita dari Props, jaringan kerja Google di Indonesia sejak empat silam.
Menuju Profesionalisme Media
Diskursus mengenai mediapreneurship menjadi semakin relevan di tengah maraknya media yang belum profesional. Dengan kombinasi keterampilan jurnalistik, strategi digital, serta integritas, mediapreneur diharapkan tidak hanya menciptakan konten tetapi juga menghidupkan kembali kepercayaan publik terhadap media.
“Mediapreneurship pada akhirnya bukan hanya soal bisnis, melainkan tentang membangun ekosistem media yang sehat, kredibel, dan berkelanjutan. Dan, yang berkelanjutan adalah media yang berkualitas,” tegas Dr. Guntur menutup diskusi. (kim)