IM.com – Pengawas pondok pesantren di Kecamatan Pacet, Mojokerto, M Muiz, kembali divonis 6 tahun penjara karena terbukti melakukan kasus pencabulan terhadap salah satu santri laki-laki. Vonis ini merupakan hukuman kedua yang dijatuhkan kepada terpidana atas kasus yang sama dalam delik perkara berbeda.
Dalam putusannya, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto menyatakan perbuatan Muiz telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 82 ayat (1) junto Pasal 76E UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Amar putusan ini dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim, Ardhi Wijayanto, di ruang Sidang Cakra pada Rabu (8/1/2024).
“Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa pidana 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta, subsider 4 bulan,” terang Ketua Majelis Hakim, Ardhi Wijayanto, membacakan amar putusan, Rabu (8/1/2025).
Putusan tersebut, lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan JPU yang sebelumnya meminta agar Muiz dijatuhi hukuman 9 tahun penjara. Merespon putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim, terpidana Muiz dan jaksa penuntut umum (JPU) menyatakan pikir-pikir.
Jakasa Penuntut Umum (JPU) Rosian Arganata, terpidana Muiz diadili untuk yang kedua kalinya ini, karena melakukan pencabulan terhadap RJL (14) asal Surabaya. Muiz melakukan aksi cabulnya sebanyak dua kali yakni saat RJL masih duduk di bangku SMP kelas 8 dan 9.
Modusnya, Muiz mengajak RJL untuk menonton film, pada waktu istirahat malam, sekitar pukul 21.00 WIB. Setelah RJL tertidur, Muiz mulai melancarkan aksinya.
“Setiap selesai kegiatan pondok, waktu istirahat malam itu terdakwa melancarkan aksi cabulnya. Tidurnya enggak berdua, ada juga beberapa teman korban yang sebelumnya jadi sasaran terdakwa,” terangnya.
Saat itu, lanjut Rosian, korban sempat terbangun dan melakukan perlawanan. Namun, Muiz menindihnya dan melanjutkan perbuatannya. RJL pun tak berkutik karena takut dipukul.
“Korban takut dipukul kalau enggak nurut, terdakwa ini kan sebagai pengawas kedisiplinan,” cetus JPU Rosian.
Perbuatan Muiz baru terbongkar ketika RJL sering pulang tanpa izin dari pihak pondok pesantren (Ponpes). Hasil visum dari psikolog, RJL mengalami trauma yang mendalam hingga engan bersosialisasi.
“Hasil visum dan diagnosa psikologi, korban tertekan akibat kejadian itu, enggak mau bersosialisasi, maunya di rumah saja, bahkan tidak mau bersekolah,” tandasnya.
Putusan ini merupakan vonis kedua terhadap Muiz dalam kasus yang sama, yakni pencabulan terhadap santri ponpes. Sebelumnya, pernah dijatuhi hukuman 9 tahun penjara dan denda Rp 500 juta, subsider 4 bulan kurungan oleh majelis hakim PN Mojokerto pada September 2024 yang lalu.
Majelis hakim menyatakan Muiz terbukti bersalah melakukan pencabulan terhadap 5 santri laki-laki. Salah satunya bahkan menjadi korban disodomi. (sis/imo)