IM.com – Dinas Kesehatan Kota Mojokerto tidak sependapat dengan keinginan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) agar pelayanan jaminan kesehatan untuk Penerima Bantuan Iuran Daerah (PBID) kembali ke pola lama melalui asuransi kesehatan. Pasalnya, jamkesda untuk warga PBID melalui BPJS dinilai lebih efektif dan efisien.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Mojokerto Christiana Indah Wahyu menyebutkan, ada sejumlah alasan yang membuat BPJS lebih efektif dan unggul dibanding pelayanan asuransi kesehatan (askes) yang menerapkan metode pembayaran premi langsung ke rumah sakit.

Pertama, BPJS sudah memiliki sistem yang lebih mapan dibanding askes. Sedangkan pola yang lama belum memiliki sistem untuk memverfikasi dan mengendalikan tagihan penanganan medis PBID sesuai tarif riil.

Artinya, lanjut Indah, Dinkes harus punya sistem sendiri untuk mengetahui dan memverfikasi jumlah tagihan iuran yang diklaim pihak rumah sakit itu benar-benar sesuai dengan tarif. Nah, keberadaan BPJS ini menutupi kekurangan itu.

“BPJS pembayarnya. Mereka sudah memiliki sistem untuk mengendalikan itu. semua penanganan (untuk pasien BPJS) sudah ada standarisasi dan dikendalikan oleh BPJS,” jelas Indah.

Dengan sistem yang disebut INACBG tersebut, pemerintah melalui BPJS menerapkan standarisasi dan mengendalikan, tarif untuk semua jenis penanganan medis hingga harga obat. Dengan demkian, lanjut Indah, pihak rumah sakit tidak bisa merekayasa tarif atau tagihan yang harus dibayar pemerintah untuk pasien PBID.

“Kalau tidak ada sistem seperti itu, rumah sakit bisa saja mengenakan tarif dan klaim tagihan semau-maunya untuk pasien PBID,” ujar Indah.

Alasan lain yang membuat pelayanan kesehatan untuk warga penerima bantuan pemerintah tidak bisa dikembalikan ke pola lama adalah karena sistem pembayaran premi askes yang tidak efisien dan fleksibel seperti BPJS. Indah mengatakan, anggaran yang ditetapkan pemkot belum tentu bisa meng-cover semua PBID jaminan kesehatan PBID yang jumlah mencapai 52.724 jiwa di tahun 2019-.

“Tidak bisa dipastikan. Apakah misalnya premi Rp 26 miliar (sesuai RKA yang diajukan Dinkes untuk iuran BPJS) cukup untuk menjangkau semua PBID. Atau sebaliknya, bisa saja anggaran itu kelebihan terlalu besar,” tandasnya.

Untuk diketahui Dinkes Kota Mojokerto mengalokasikan dana untuk iuran PBID BPJS Kesehatan tahun 2020 sebesar Rp 22,1 miliar. Dana tersebut bersumber dari cukai rokok dan tembakau Rp 7,5 miliar, pajak rokok tahun ini Rp 11,3 miliar. Selain itu ditambah sisa pajak rokok tahun lalu Rp 3,3 miliar yang sudah ditransfer langsung dari Kemenkeu ke BPJS.

Anggaran itu untuk membiayai iuran seluruh kuota PBID tahun 2020 yang ditetapkan sebanyak 53 ribu jiwa. Sementara jumlah PBID tahun ini berdasar hasil verifikasi dan validasi sampai 31 Desember 2019 sebanyak 51.825 jiwa.

Untuk pelayanan jaminan kesehatan puluhan ribu PBID Itu, Dinkes tetap lebih memilih menggunakan BPJS yang dinilai lebih efektif dan efisien. Pemerintah hanya membayar iuran tagihan sesuai jumlah PBID yang berobat dan tindakan medisnya.

“Dan pembayaran iuran itu dilakukan per bulan sesuai klaim BPJS. Besarannya fluktuatif, tidak selalu sama setiap bulan,” tuturnya.

Model pembayaran ini tentu juga menjadi kelebihan iuran BPJS dibanding premi. Sebab, pembayaran premi jumlahnya sama setiap bulan atau per tahun.

“BPJS memang lebih efektif dan efisien berdasarkan sistem. Hanya beberapa masalah yang pada BPJS harus segera dibenahi,” tegas Indah.

Menurut Indah, BPJS tetap harus memperbaiki sistem pelayanan mereka. Utamanya terkait prosedur rujukan yang kerap dikeluhkan peserta BPJS.

“Antrian panjang, lambannya penanganan di rumah sakit untuk pasien BPJS itu juga harus diperbaiki. Kan itu yang sering dikeluhkan peserta. Kita ingin pelayanan kesehatan masyarakat bisa optimal,” demikian Indah.

Sebelumnya, Anggota Komsi III DPRD Kota Mojokerto Moeljadi mengusulkan agar pelayanan jaminan kesehatan untuk warga kembali ke pola lama, Jamkesda atau askes. Dewan pun menyampaikan alasan yang sama mengapa harus kembali ke jamkesda yakni karena efektifitas dan efisiensi.

“Menurut kami (jamkesda) lebih efektif dan efisien yang dulu. Kalau ngomong efektif, kami lebih sepakat dengan pola-pola yang dulu. Soal Universal Health Coverage, kami sudah total coverage waktu ada Jamkesda dulu,” kata Moeljadi

Moeljadi mengatakan program total coverage yang didanai APBD pernah dijalankan Pemkot Mojokerto mulai 2014 sampai 2017. Menurutnya, program ini lebih efektif dan efisien dibanding BPJS karena sejumlah alasan.

Antara lain setiap warga Kota Mojokerto bisa berobat tanpa terbelit urusan administrasi. Sebab, warga penerima bantuan bisa berobat gratis ke puskesmas maupun rumah sakit cukup dengan hanya membawa KTP.

“Kalau BPJS kan selama ini banyak keluhan, terutama masalah administrasi dan rujukan. Tapi kan BPJS Kesehatan ini kan kebijakan nasional, sulit kalau mau kembali ke yang lama,” ujar Moeljadi. (im)

574

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini