IM.com – Bocah kembar berusia 9 tahun di Dusun Kemiri, Desa Kedungsari, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur mengidap penyakit atau kelainan langka xeroderma pigmentosum.
Diketahui, xeroderma pigmentosum merupakan kondisi ketika seseorang mengalami sensitivitas ekstrem terhadap sinar UV (photosensitivity). Sensitivitas ini membuat orang tersebut tidak bisa berada di bawah sinar matahari.
Kelainan ini juga bisa membuat pengidapnya mengalami kondisi neurologis tertentu.
Anak kembar pasangan suami istri (pasutri) asal Kemlagi, Kabupaten Mojokerto, Sri Wahyuning (43) dan Mokhamad Fatchur Rohman (45) itu mengidap xeroderma pigmentasi sejak lahir di usia sekira 40 mingguan.
Akibatnya, AD dan AZ tidak bisa terkena paparan sinar matahi secara langsung dan sehari-hari hanya berada di dalam rumah milik neneknya.
Sri Wahyuning menceritakan awal mula anak kembarnya AD dan AZ mengalami penyakit langkah tersebut. Mulanya, AD mengalami luka bintik di mukanya, jika terkena matahari. Namun setelah diberikan obat menghilang dan tidak lama mencul kembali luka di wajahnya saat terkena sinar matahari.
,Sementara AZ setiap diajak keluar rumah selalu menangis dikarenakan matanya tidak bisa terkena paparan sinar matahari secara langsung.
“Saya bawa ke Puskesmas terus dirujuk ke RSUD R.A Basoeni, dan dirujuk lagi di RSUD Dr Soetomo Surabaya. Saat itu anak saya di periksa dari mata, kulit, sampai semuanya dan dinyatakan terkena sakit alergi sinar matahari atau disebut xeroderma pigmentosum,” tutur Sri Wahyuning, Rabu (19/06/2024).
Hingga saat ini kedua anaknya tersebut tidak bisa terkena paparan sinar matahari, sehingga tidak bisa leluasa bermain di luar rumah.
“Setiap harinya hanya di dalam rumah, kalau keluar rumah dikasih lotion agar tidak luka terkena paparan sinar matahari,” tutur Sri menambahkan.
Sudah 5 tahun lebih Sri Wahyuni mengobatkan kedua anaknya di RSUD Dr Soetomo hingga pengobatan tradisional pun sudah dilakukannya.
Sementara sang suami Mokhamad Fatchur Rohman (45) hanyalah seorang supir serabutan.
Karena keterbatasan biaya ia pun tidak lagi memeriksakan kedua anaknya sejak adanya Covid-19 lalu.
Sementara itu, Kepala Desa Kedungsari, Hermawan mengatakan, dirinya juga baru 6 bulan kemarin mengetahui warganya ada yang terkena penyakit langka. Namun tidak ada pelaporan di pemerintah desa.
“Jadi saya sendiri juga baru tahu 6 bulan kemarin, kok ada penyakit kayak gini tidak laporan di Puskesdes, atau mungkin puskesdes belum laporan kepada saya,” jelasnya. (rik)