Pamali

SALAH satu pamali, pantangan, atau “gak ilok” untuk dilakukan selama berpuasa Ramadlan adalah bertengkar. Sejumlah Ulama memakruhkannya, bahkan ada yang mengharamkannya, atau disebut membatalkan keabsahan berpuasa.

Yang pasti bertengkar itu mengotori keindahan puasa, seperti virus perusak aplikasi software batiniah kita yang “loading” ke keluasan dan kedalaman. Pertengkaran dalam keluarga, di luar rumah, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, benar-benar “incompatible” terhadap hakiki puasa, serta “illegible” dalam privat-makrifat dengan Allah.

Puasamu Untuk-Ku

Semua Ibadah Mahdloh (peribadatan yang segala sesuatunya ditentukan oleh Tuhan, dan itu komponen utama Agama atau religi) maupun Ibadah Mu’amalah (yang diinisiatifi dan didisain oleh manusia, waktunya, caranya, gerakannya, ucapannya, yang posisinya adalah religiousitas atau ekspressi rasa keTuhanan) adalah buat kepentingan pelakunya, karena Allah tidak membutuhkan persembahan apapun dari makhluk-Nya. Tetapi “puasa hamba-Ku itu untuk (milik)-Ku, dan Aku sendiri yang memberinya apresiasi, karena hamba-Ku meninggalkan hawa nafsu, makan dan minumnya karena-Ku”.

Hakiki Demokrasi

Nafsu, makanan dan minuman dalam jenis, bidang, ranah dan konteks apapun. Dari urusan lidah dan perut, hingga seluruh strata dunia-mania. Nafsu mencari, menikmati dan mempertahakan kekuasaan politik. Nafsu memaksakan kebenaran keluar dirinya, rakyat kepada pemerintahnya, apalagi Pemerintah kepada rakyatnya. Nafsu menuding-nuding orang lain, meng-kafir-kan maupun me-makar-kan. Nafsu menuhankan kapitalisme global, industrialisme tanpa batas. Termasuk nafsu menguras kekayaan Allah di kandungan bumi tanpa minta izin kepada Pemilik-nya dan tidak “ewuh pekewuh” kepada rakyat beserta anakcucunya yang Allah menganugerahi mereka hak pakai, yang memang demikianlah prinsip hakiki Demokrasi.

Workshop Pengendalian Diri

Manusia tidak akan menyimpulkan bahwa semua pamali itu berlaku hanya pada Bulan Ramadlan, sehingga selepas Idulfitri ia menghari-rayakan kembali kebencian permusuhan dan pertengkaran. Kecuali manusia yang tidak terdidik mendayagunakan akal pikiran, mengelaborasi pemaknaan puasa ke keluasan dan kedalaman, membiasakan eksplorasi intelektual, asosiasi dan simulasi nilai puasa untuk diberlakukan sepanjang kehidupan. Puasa Ramadlan adalah “piweling”, “remindering” dan “workshop” khusus yang melatih kembali manusia untuk meningkatkan kesanggupan mengandalikan diri.

Di samping prinsip kontrol puasa, manusia menjalani hidupnya dengan prinsip syahadat (keteguhan prinsip), shalat (ketekunan dan kesetian), zakat (keberbagian dalam keseimbangan bersama), serta haji (pengerucutan pencapaian kemuliaan, titik puncak di mana kebenaran, kebaikan dan keindahan menyatu).

Syariat Nasionalisme

Jangankan dalam berkeluarga, bermasyarakat dan ber-Negara, sedangkan teamwork bermain sepakbola saja memerlukan prinsip syahadat, shalat, zakat, puasa, agar “mabrur”, mencapai keindahan goal. Goal di gawang lawan, yang letaknya tidak “di sana” melainkan “di sini”. Gawang lawan itu berada di dalam diri kita sendiri, di lapangan nafsu, egosentrisme, subyektivisme golongan-golongan dalam berpolitik, yang merusak “syariat” nasionalisme.

Pita Sempit Sumbu Pendek

Kita terlalu mudah meneriakkan nasionalisme, NKRI harga mati, Bhinneka Tunggal Ika. Kurang mengukur seberapa kematangan ilmu dan keluasan pengetahuan yang diperlukan. Kurang menakar seberapa dalam sublimasi mental, seberapa cakrawala hati-samudera, seberapa mensemesta kelapangan cinta, serta seberapa kokoh jiwa kita untuk mengutamakan penerimaan dan mengikis penolakan. Pelan-pelan tapi pasti budaya kependidikan kebangsaan kita menambah jumlah anakanak “pita sempit” yang ber-“sumbu pendek”. Hampir dua tahun penuh bangsa Indonesia menyiksa diri dengan kesempitan intelektualnya sendiri, kekerdilan mentalnya sendiri, serta kegelapan spiritualnya sendiri.

Fermentasi Mental

Nanti sehabis hariraya kita saksikan bersama, misalnya satu perkara saja: apakah grafik nafsu pertengkaran nasional itu naik atau turun. Apakah ketela-pohong, singkong, atau ubi kayu mentalitas kita tetap keras atau malah menyempurna menjadi benar-benar kayu, ataukah sudah kita ragi-kan menjadi “tapé”. Seberapa tingkat fermentasi kejiwaan yang telah kita upayakan selama Ramadlan, untuk memproduksi kelembutan, kasih sayang, nikmat kebersamaan, indahnya penyatuan dan kebersatuan, pengayoman, kepengasuhan dan keseimbangan.

Default Qadla

Pertengkaran antara manusia, mungkin memang sejak ‘sono’nya merupakan “qadla” alias default-plan Tuhan sendiri: bagian dari disain tata nilai penciptaan makhluk, maka Tuhan juga sudah mempersiapkan ‘treatment’ untuk itu. “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang sama-sama beriman itu bertengkar, hendaklah kamu damaikan antara keduanya. Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu lawan sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”.

Itidraj, Dibombong

Pada panduan solusi di atas, kata ‘keadilan’ yang pertama Tuhan memakai kata “al-‘adl”, yang kedua menggunakan “alqisth”. Yang pertama bersifat universal, cair dan luas. Yang kedua spesifik, kasuistik dan kontekstual. Di akhir panduan-Nya, Tuhan menyebut Diri-Nya menyukai “al-muqsithin”, bukan “al-‘adilin” atau “dzul-‘adli”. Seolah-olah pernyataan terakhir itu mengindikasikan titik berat kasuistik kontekstual. Itu metode solusi bakunya. Kemudian secara dinamis Tuhan sewaktu-waktu akan menginisiatifi “iradah” atau “political will”-Nya. Salah satu fenomena “will” itu adalah “istidraj”. Semacam jebakan.

Sebuah hadits: “Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” Tuhan sendiri menyatakan: “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”

Out of Human Regulation

Atau pada momentum tertentu menurunkan “amr” atau perintah-Nya. Iradah-Nya bisa melalui berbagai macam formula, menelusup ke adegan-adegan kehidupan manusia, memberi kejutan-kejutan, triger, gejala, indikator atau apapun. Amr-Nya bisa berupa energi hidayah (informasi plus petunjuk) yang menyeret seseorang atau suatu kelompok, atau suatu kejadian “min haitsu la yahtasib”, berada di luar regulasi manusia, meleset dari simulasi strategi, perencanaan, rekayasa atau subversi yang sudah dirancang dan ditata oleh manusia. Penempatan ruang waktunya juga berdasar “amr” itu, bisa di Pulau Seribu, bisa di ruang Pengadilan, bisa muncul melalui lidah dan bibir seseorang, atau desakan di dalam hati, emosi dan mental siapapun yang Ia mau.

Maha Presisi

Di dalam situasi sehari-hari manusia mengalami berbagai masalah, kemudian saling menasehati “carilah hikmah-nya”. Kata “hikmah” itu berasal dari kata kerja “hakamayahkumu” yang subyeknya adalah Hakim. Tuhan sendiri Maha Hakim. Sejauh saya mencoba memahami, hikmah adalah tetesan paling murni dan otentik dari titik atau koordinat keadilan pada suatu peta persoalan. Tuhan Maha Hakim adalah Tuhan Yang Maha Presisi terhadap titik teradil itu. Hikmah mencerminkan pemahaman bahwa seburuk apapun yang alami manusia, sesungguhnya di dalamnya terdapat rahasia kebaikan. Hikmah itu semacam rejeki ilmu dan nilai yang bersumber dari seburuk apapun yang menimpa manusia.

Mana Pak Muslih

Ketika warga Jakarta dan bangsa Indonesia mengalami rentetan pertengkaran yang sangat menguras tenaga hati dan pikiran, tak seorangpun atau suatu pihakpun yang melakukan saran baku Tuhan itu. Pihak Pemerintah bahkan berperilaku seperti siluman, ulang alik dari gejala pemihakan kepada salah satu kelompok ke kelompok lainnya yang bertengkar dengan kelompok yang pertama. Terkadang Pemerintah tampak di kanan, besoknya seolah-olah di kiri. Bangsa ini tidak punya “pengasuh”. Tidak ada “Muslihin”nya, yakni pihak ketiga yang melakukan ishlah. Bangsa ini tak punya “Pak Muslih”, tidak punya “orangtua”, “sesepuh”, “pengayom”.
Lidah dan Rasa Manis

Negara ini berjalan tanpa Negarawan. Bukan karena tidak ada Negarawan, tetapi lidah Negara dan Bangsa ini tidak bisa merasakan manis, sehingga seakan-akan taka da gula. Di antara bangsa besar Indonesia ini banyak orang yang dirundung beribu-ribu pertanyaan, namun karena tidak terbiasa menyusun pertanyaan, maka tidak aksesabel terhadap jawaban. Sebagian lainnya sangat sibuk memberi jawaban tanpa merekonfirmasi pertanyaannya. Sebagian lain lagi tidak ada urusan dengan pertanyaan maupun jawaban, karena habis waktunya berkonsentrasi mencari keuntungan.

No Problema Indonesia

Dengan demikian rentang panjang pertengkaran semakin tak tampak ujungnya. Dalam seminggu rata-rata saya bertemu dengan sekitar 50 ribu orang di berbagai daerah, yang 90% kaum muda. Mereka selalu melempari saya beratus-ratus pertanyaan yang hampir semua tanpa presisi terhadap peta permasalahan, sehingga belum pernah juga saya mampu memberi jawaban yang akurat sebagaimana yang diseyogyakan oleh urgensi persoalannya. Ketika mereka bertanya “Indonesia ini sebenarnya sedang mengalami masalah apa?”, saya menjawab “Indonesia tak punya masalah”. Mereka mengejar “kenapa Agama, kebhinekaan, nasionalisme, Pancasila, syariat, khilafah dan macam-macam lagi sekarang menjadi bahan pertengkaran yang sangat menyesakkan?”. Saya bertahan pada jawaban awal: “Tidak masalah dengan NKRI, nasionalisme, Pancasila, Agama, Khilafah, toleransi, radikalisme dan lain-lain. Yang bermasalah adalah manusianya”.

Hari Raya tanpa Puasa

Ketika kemudian mereka mengejar lagi “apa yang salah pada manusia Indonesia? Apakah mentalnya? Imannya? Hatinya?”, saya menjawab “tujuan hidup kita adalah Hari Raya, tetapi tidak pernah belajar berpuasa. Konsentrasi cita-cita kita semua adalah perayaan dan foyafoya, tetapi tidak berguru dan meneliti Ilmu Puasa.

Kita menghabiskan umur untuk membangun dunia, mendirikan segala yang memuaskan mata, Ilmu Katon, materialisme dan hedonisme. Kita tidak benar-benar percaya kepada janji Tuhan. Kita tidak bersabar terhadap sorga. Kalaupun percaya, yang kita dambakan adalah Sorga sebagai Maha-Dunia.

Tuhan melambaikan tangan-Nya: “Kalau kalian sungguh-sungguh mencintai-Ku…”,Barang siapa mendambakan perjumpaan dengan-Ku..”. Tetapi manusia menjalani tahap dunia tidak dengan kerinduan untuk penasaran memenuhi lambaian tangan cinta-Nya itu. Kita bertanya: Apa susahnya Tuhan untuk kapan saja memperjumpakan diri-Nya dengan kita? Ya. Tetapi yang dilambai oleh Tuhan adalah kita memperjumpakan diri kita kepada-Nya. Yang dirindukan oleh Tuhan adalah kerinduan kita untuk mendatangi-Nya.***

 

Emha Ainun Nadjib
Yogya 26 Mei 2017

72

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini