IM.com – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengkategorikan Jawa Timur sebagai provinsi yang sangat kritis dari aspek lingkungannya. Kondisi lingkungan sangat kritis tersebut disebabkan pencemaran sungai dan polusi udara yang parah akibat sampah, limbah dan asap buangan industri.
Indikator pencemaran itu dilihat dari kondisi Sungai Brantas, Bengawan Solo, dan beberapa industri ringan, menengah, besar, dan sumber energi yang berasal dari batu bara di Jatim. Sejumlah indikator itu menjadi parameter Pusat Penelitian dan Pengembangan Kualitas dan Laboratorium Lingkungan, Badan Penelitian dan Inovasi KLHK (P3KLL, BLI-KLHK) dalam menilai aspek lingkungan di suatu wilayah.
“Saya menganggap dari berbagai macam parameter uji baik air, udara, maupun bahan kepadatan itu sudah rata-rata di atas ambang normatif,” ujar Kepala P3KLL, BLI-KLHK, Herman Hermawan dalam acara sinergi peran laboratorium dalam mendukung early warning system bencana lingkungan di Surabaya, Kamis (17/10/2019).
Aspek tersebut juga bisa diukur dari Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) juga daya dukung dan daya tampung lahan yang ada di Jawa Timur. Menurut Herman, berkaca dari indikator-indikator tersebut, kondisi lingkungan di Jatim perlu mendapat perhatian serius dan menjadi prioritas penanganan masalah lingkungan.
“Kami tahu bahwa jumlah laboratorium lingkungan yang ada di Jawa Timur dan beberapa kabupaten kota, ternyata masih sangat terbatas,” tandasnya.
Herman mengemukakan, pihaknya sudah membandingkan kondisi dan penanganan masalah lingkungan di Jatim dengan beberapa provinsi lain seperti Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara dan di luar Jawa. Terutama dari segi tingkat kekritisan dengan anggaran penanggulangannya.
Ia menyayangkan penanganan masalah lingkungan hidup selama ini hanya bergantung pada dukungan dari pemerintah pusat maupun daerah. Seharusnya, lanjut Herman, persoalan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab semua pihak dan masyaakat secara umum.
“Padahal persoalan lingkungan hidup ini adalah personal lintas sektoral yang memerlukan dukungan dari berbagai stakeholder,” tuturnya.
Karena itu, P3KLL,BLI-KLHK mengundang DPRD baik provinsi, kabupaten, kota, Bappeda dan berbagai pemangku kepentingan lainnya. “Kita menyamakan semangat dan persepsi, bahwa bagaimana dukungan dari daerah terhadap urusan lingkungan hidup,” cetus Herman.
Berdasar catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jatim, dalam enam tahun terakhir (2013-2018), eskalasi bencana ekologis di Jatim terus menerus meningkat. Pada tahun 2013 jumlah bencana ekologis tercatat ada 233 kejadian.
Jumlah itu terus meningkat hingga pada tahun 2018 tercatat setidaknya ada 455 kejadian bencana ekologis. Bencana ekologis adalah akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan Iingkungan dan gagalnya sistem pengurusan alam.
“Kawasan selatan Jawa selayaknya ditetapkan menjadi kawasan lindung dan konservasi demi mengantisipasi bencana yang mungkin timbul,” kata Direktur WALHI Jatim Rere Christianto .
(im)