Data Kementerian Kesehatan RI mencatat lebih dari 1 juta kasus TBC aktif dan 125 ribu kematian per tahun. Indonesia bahkan berada di posisi kedua dunia dengan beban TBC tertinggi, hanya kalah dari India

IM.com – Setiap jam, 14 orang meninggal karena TBC di Indonesia. Angka ini bukan sekadar statistik; ia adalah alarm sosial yang nyaring, memanggil kesadaran kita yang selama ini terlampau nyaman berada dalam ketidaktahuan atau ketidakpedulian.

Dalam bayang-bayang pandemi COVID-19 yang menyita perhatian global, Tuberkulosis—penyakit ‘kuno’ yang sudah dikenal manusia sejak abad ke-19—masih terus menggerogoti masyarakat secara senyap tapi mematikan.

Data Kementerian Kesehatan RI mencatat lebih dari 1 juta kasus TBC aktif dan 125 ribu kematian per tahun. Indonesia bahkan berada di posisi kedua dunia dengan beban TBC tertinggi, hanya kalah dari India. Di level lokal, Kota Mojokerto menunjukkan tren yang mengkhawatirkan: dari 757 kasus pada 2023 melonjak menjadi 869 kasus pada 2024, dan dalam separuh tahun 2025 sudah tercatat 322 kasus.

Wali Kota Mojokerto, Ika Puspitasari, menyuarakan keprihatinannya dan menekankan pentingnya pengobatan yang tuntas sebagai kunci utama menekan laju penyebaran TBC. Pengobatan TBC memang bukan perkara instan: satu pasien harus disiplin minum obat selama enam bulan penuh tanpa putus. Ketidaktuntasan akan memicu resistansi obat dan memperparah penularan.

Namun, tantangan utama bukan hanya terletak pada medis, tapi juga pada kesadaran masyarakat. Edukasi selama ini, meski masif, belum menyentuh sisi emosional dan urgensi sosial masyarakat. Upaya promotif yang melibatkan kader motivator, posyandu, dan puskesmas pun masih terbatas jangkauannya.

BISA DIKALAHKAN

Beberapa negara telah menunjukkan bahwa eliminasi TBC bukan angan-angan:

Jepang, pada dekade 1950-an mengalami wabah TBC yang sangat tinggi. Namun, berkat penguatan sistem kesehatan primer, skrining massal, dan penegakan hukum bagi pasien yang tidak patuh pengobatan, angka kasus bisa ditekan drastis. Kini, Jepang termasuk negara dengan insidensi TBC terendah di dunia, kurang dari 10 per 100.000 penduduk.

Vietnam, melalui kolaborasi intens antara pemerintah, komunitas lokal, dan donor internasional, sukses mengintegrasikan pengobatan TBC dalam layanan kesehatan dasar. Hasilnya, tingkat keberhasilan pengobatan meningkat hingga lebih dari 90%.

Rwanda, pasca-genosida, menjadi contoh negara berkembang yang berhasil memperkuat diagnosis dini melalui penggunaan alat Tes Cepat Molekuler (GeneXpert) dan memperluas layanan pengobatan TBC berbasis komunitas.

Studi dari WHO menunjukkan bahwa komitmen lintas sektor, keterlibatan komunitas, dan pendekatan berbasis hak asasi manusia adalah pilar keberhasilan penanggulangan TBC di berbagai belahan dunia.

Penularan TBC tidak mengenal kelas sosial: bisa terjadi di perkotaan dengan padat penduduk, maupun pedesaan dengan fasilitas kesehatan terbatas. Ironisnya, banyak penderita yang tidak tahu dirinya menularkan penyakit. Sebagian bahkan enggan memeriksakan diri karena stigma dan ketakutan sosial. Padahal TBC bukan aib, melainkan penyakit menular yang bisa disembuhkan.

Perlu langkah-langkah hukum yang lebih tegas terhadap pasien yang lalai atau sengaja menghentikan pengobatan tanpa alasan medis. Ini bukan tindakan diskriminatif, tetapi langkah protektif bagi kesehatan publik. Sama seperti aturan karantina COVID-19 dahulu, TBC juga membutuhkan perlindungan kolektif berbasis aturan hukum yang adil.

VAKSIN BARU
Indonesia sebenarnya tidak kekurangan strategi. Kementerian Kesehatan telah mengembangkan berbagai inovasi: dari X-ray portable, PCR TBC, hingga sertifikat kesembuhan otomatis. Program edukasi digital berbasis e-learning TBC telah menjangkau hampir setengah juta tenaga kesehatan.

Di sisi preventif, vaksin TBC generasi baru M72/AS01E sedang diuji klinis di Indonesia dan empat negara lain. Jika terbukti efektif, vaksin ini dapat mencegah TBC paru pada remaja dan dewasa hingga 50%, menyelamatkan jutaan jiwa dan menghemat miliaran dolar dalam jangka panjang.

Komunitas memainkan peran vital dalam eliminasi TBC. Di 150 kabupaten/kota intervensi, komunitas berkontribusi terhadap 29% penemuan kasus. Mereka melakukan investigasi kontak, skrining, pendampingan, dan edukasi berbasis digital melalui platform Lapor TBC. Beberapa daerah seperti Kalimantan Barat bahkan telah memberi insentif dan bantuan transportasi bagi kader.

Pemerintah daerah pun tak bisa hanya menjadi pelaksana pasif. Mereka harus merancang anggaran yang adaptif, membentuk Tim Percepatan Penanggulangan TBC, dan menjadikan pencegahan penyakit menular sebagai agenda politik lokal yang nyata, bukan formalitas.

Kesadaran Kolektif: Saatnya Bersikap

Mengakhiri TBC bukan hanya soal kesehatan. Ini soal keadaban sosial, kepekaan moral, dan keberanian kolektif untuk menyelamatkan generasi. Setiap individu yang bersikap acuh, setiap keluarga yang menyembunyikan pasien, dan setiap birokrat yang lamban dalam anggaran—adalah bagian dari masalah itu sendiri.

Jika kita sungguh ingin melihat Indonesia bebas TBC pada 2050, maka langkah nyata harus dimulai dari sekarang. Bukan hanya dengan spanduk dan kampanye, tapi dengan aksi terukur, aturan tegas, dan kepedulian tanpa syarat.

Karena TBC tidak akan hilang dengan sendirinya. Tapi bisa kita kalahkan—jika kita bersatu melawannya. (kim)

36

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini