IM.com – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Mojokerto menuding diagnosa keliru dokter menjadi pemicu perbedaan data jumlah penderita demam berdarah dengue (DBD). Sebaliknya, pihak rumah sakit mengklaim jumlah pasien DBD yang dirawat inap sudah melalui diagnosa sesuai prosedur.
Dinkes bersikukuh,
jumlah penderita DBD di Kota Mojokerto sepanjang Januari 2019 hanya tujuh
orang. Riciannya, 4 pasien dirawat di RS Kamar Medika, 2 pasien di RSUD Dr
Wahidin Sudiro Husodo, serta 1 pasien di Puskesmas Kedundung.
“Kami tetap pada data 7 orang terkena DBD
di Bulan Januari 2019 dengan kondisi trombositnya di bawah 100 ribu,
hematokritnya naik 20 persen,” kata Kepala Dinkes Kota Mojokerto
Christiana Indah Wahyu kepada wartawan di kantornya, Senin (4/2/2019).
Hal itu berdasar gejala klinis dan hasil diagnosa laboratorium terkait kondisi pasien. Ihwal data jumlah pasien DBD yang dirawat enam rumah sakit di Kota Mojokerto jauh lebih banyak, Indah menyebut hal itu karena diagnosa dokter yang keliru.
Indah mengatakan, dokter keliru dalam mengkategorikan hasil diagnosa pasien positif demam dengue (DD) dengan demam berdarah dengue (DBD). Dalam menetapkan pasien positif DBD, Dinkes merujuk pada Pedoman Pengendalian DBD di Indonesia yang diterbitkan Kemenkes tahun 2015.
Pedoman dari Kemenkes menyebutkan seseorang dinyatakan positif DBD kalau trombositnya sudah dibawah 100 ribu per milimeter kubik darah dan naiknya hematokrit di atas 20 persen. Tapi kalau trombosit masih di atas 100 ribu dan naiknya hematokrit di bawah 20 persen maka kategorinya Demam Dengue (DD).
“Harusnya itu yang dipakai teman-teman dokter untuk mendiagnosa DBD,” tegas Indah.
Meski dianggap salah mendiagnosa, Indah tetap mengapresiasi kerja cepat dokter rumah sakit sehingga pasien DD yang dinyatakan DBD pada akhirnya mendapatkan penanganan yang maksimal. Intinya, lanjut Indah, penanganan DD maupun DBD sama, yaitu dengan meningkatkan volume cairan tubuh untuk meningkatkan trombosit, albumin serta menurunkan hematokrit.
Kedua pihak agaknya sama-sama benar dalam silang pendapat terkait diagnosa pasien DBD ini. Perbedaan barangkali ada pada sudut pandang penerapan metode dalam mendiagnosa pasien.
Dinkes selalu berpegangan pada metode standar untuk mendiagnosa DBD sesuai Pedoman dari Kemenkes. Sedangkan di sisi lain, pihak rumah sakit –apalagi yang modern dan maju- punya banyak metode untuk memperkuat diagnosa pasien DBD.
Yang pertama merupakan diagnosa untuk menemukan gejala DBD (probable dengue). Metode kedua -apabila diperlukan- adalah untuk memperkuat atau meyakinkan (confirmed dengue) hasil diagnosa standar karena dianggap masih meragukan. Dua metode diagnosa inilah yang membuat pihak rumah sakit enggan disalahkan begitu saja.
“Rumah sakit punya banyak laboratorium penunjang lainnya, jadi pemeriksaan tidak hanya trombosit yang turun di bawah 150 ribu,” kata Kepala Seksi Keperawatan RSI Sakinah dr Nunuk Kurniawati.
Nunuk lalu mencontohkan, meskipun trombosit masih di atas 150 ribu, tapi kalau laboratorium Immunoglobulin dengue (Ig M) atau pemeriksaan Antigen Non-Struktural 1 Dengue (NS 1) positif, maka pasien dinyatakan menderita DBD. Immunoglobin adalah antibodi yang diproduksi tubuh saat terkena infeksi.
”Kalau hasil itu positif, dokter yang merawat sudah mendiagnosa DHF,” tutur dr Nunuk.
Pendapat senada
disampaikan Kepala Divisi Pelayanan Medis Rumah Sakit (RS) Gatoel dr Anggi. Ia mengatakan,
17 pasien warga Kota Mojokerto yang dinyatakan positif menderita DBD atau istilah
medis DHF (Dengue Hemoragic Fever) berdasar pemeriksaan laboratorium terhadap
sampel darah.
“Dinyatakan DHF karena tanda-tanda klinis dan
trombositnya turun sampai di bawah 100 ribu (per milimeter kubik darah).
Meskipun hematokritnya masih ada yang normal,” kata dr Anggi melalui
keterangan tertulis, Senin (4/2/2019).
Polemik diagnosa DBD ini dipicu perbedaan data jumlah penderita penyakit akibat gigitan nyamuk Aedes Aegypti yang dirilis Dinkes Kota Mojokerto dengan jumlah pasien di rumah sakit sepanjang Januari 2019. Data dinkes menyebutkan penderita DBD di Kota Mojokerto hanya tujuh orang, sementara total pasien yang dirawat di empat rumah sakit sepanjang bulan lalu mencapai 54 orang.
Rinciannya, 20 orang di RSI Sakinah, 17 orang di RS Gatoel, 12 orang di RS Kamar Medika. Terakhir RSUD Dr Wahidin Sudiro Husodo yang merawat 26 penderita DBD, lima pasien diantaranya berasal dari Kota Mojokerto. (Baca: Jumlah Penderita DBD dari Pemkot Tak Sesuai Fakta, Begini Penjelasan Ning Ita).
Perbedaan data ini memunculkan dugaan ketidakberesan. Bahkan muncul indikasi Pemkot sengaja menyembunyikan data faktual jumlah penderita DBD. (im)