IM.com – Pemerintah Kabupaten Mojokerto terus menggalakkan pembinaan dan pelatihan bagi pemuda terkait pencegahan pernikahan anak usia dini. Masifnya edukasi ini diharapkan bisa menekan angka kasus perkawinan anak.
Pembinaan dan pelatihan pemuda terkait pencegahan pernikahan dini ini masih menggandeng Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) di setiap kecamatan. Giat ini sejalan dengan program pemerintah dan gerakan nasional penurunan angka perkawinan usia anak dari 11,2 persen tahun 2018 menjadi 8,74 persen pada akhir tahun 2024.
“Target Pemerintah pada 2030 nanti, tidak ada lagi pernikahan anak yang terjadi di Indonesia,” ucap Bupati Ikfina Fahmawati saat memberikan materi pencegahan pernikahan anak usia dini secara daring kepada Pondok Pesantren Roudlotun Nasyiin di Command Center Pemkab Mojokerto, Kamis (14/7/2022).
Bupati Ikfina menjelaskan, pernikahan dini menjadi yang masalah yang luar biasa. Hal ini berkaca pada data perkawinan anak dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2018 BPS.
Tercatat angka perkawinan anak di Indonesia mencapai 1,2 juta kejadian. Tingginya jumlah ini akan berdampak pada menghambat proses menuju Indonesia Emas. (Baca: Pemkab Mojokerto Lakukan Pembinaan Cegah Pernikahan Anak)
“Pernikahan anak usia dini di Indonesia menempati urutan tertinggi ke-8 didunia. 1 dari 9 perempuan umur 20-24 tahun yang menikah di bawah usia 18 tahun sebesar 11,2 persen, serta 1 dari 100 laki-laki umur 20-24 yang juga menikah sebelum 18 tahun sebesar 1,06 persen. Pernikahan yang dilaksanakn sebelum usia yang diizinkan, harus melalui dispensasi nikah,” ucapnya.
Ikfina juga mengatakan, upaya melahirkan dan membentuk sumber daya unggul dapat terganggu akibat adanya perkawinan anak usia dini. Pada akhirnya, hal ini akan mengahmbat agenda besar pemerintah yakni Menuju Indonesia Emas tahun 2045.
“Hal tersebut disebabkan anak-anak yang menikah di bawah 18 tahun beresiko 4 kali lebih banyak putus sekolah. Serta rata-rata lama pendidikan anak perempuan yang menikah muda hanya 7,29 persen yang tidak menyelesaikan pendidikan tingkat SMP. Mereka adalah kelompok calon pengantin yang beresiko melahirkan bayi stunting,” ujarnya.
Ikfina menyebutkan, terdapat banyak faktor dalam adanya perkawinan anak. Seperti kehamilan tidak diinginkan, kemiskinan, dan interpretasi nilai ada istiadat tertentu.
“Dampak serius akibat perkawinan usai anak juga menyebabkan kematian ibu dan bayi, anak balita stunting, kemiskinan, tenaga kerja tidak terampil, dan tidak tercapainya wajib belajar 12 tahun,” pungkasnya. (im)